Tuesday, April 26, 2016

Pengertian Jual Beli



BAB I


PENDAHULUAN










1.1.Latar Belakang


Allah SWT telah menjadikan manusia untuk saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing. Baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain sebagainya, yang demikian itu disebut juga istilah muamalat


Akan tetapi, sifat tamak tetap ada pada diri manusia yaitu suka mementingkan diri sendiri. Maka dari itu, agar hak masing-masing jangan sampai tersia-sia dan menjaga kemaslahatan agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur.


Agama dalam hal ini memberi peraturan yang sebaik-baiknya dalam pembahasan muamalat


Oleh sebab itu, dalam pembahasan makalah ini akan menjelaskan perihal muamalat tentang jual beli, hutang piutang dan juga riba.





1.2.Rumusan masalah


a. Apa pengertian jual beli


b. Apa yang dimaksud hutang piutang


c. Apa pengertian riba









BAB II


PEMBAHASAN






2.1. Pengertian Jual Beli


Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).






Artinya :


Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba










Artinya : Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu


2.2. Rukun Jual Beli


2.2.1. Penjual dan Pembeli


Syarat-syarat penjual dan pembeli adalah :


a. Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya


b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keterangannya yaitu ayat diatas (suka sama suka)


c. Tidak mubazir(pemboros, sebab harta orang yang mubazir itu ditangan walinya


Firman Allah SWT :






Artnya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja.


d. Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagai ulama, mereka diperbolehkan menjual beli barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-sekali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya


2.2.2. Uang dan benda yang dibeli


Syarat-syarat uang dan benda yang dibeli antara lain :


a. Suci, barang najis tidak sah tidak boleh dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.


b. Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya, karena hal tersebut termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.


Firman Allah SWT (Q.S. Al –Isra’ : 27):





Artinya : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.


c. Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual sesuatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan)






“Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa nabi SAW telah melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya” (H.R. Muslim)


d. Barang tersebut merupakan kepunyaan sipenjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakannya.






Sabda Rasulullah SAW :










“Tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki” (H.R Abu Dawud dan Tirmizi)


e. Barang tersebut diketahui oleh sipenjual dan si pembeli: zat, bentuk, kadar (ukuran), dan seifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh mengecoh.


2.3. Lafaz ijab dan kabul


Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya, “saya jual barang ini sekian”


Kabul adalah ucapan sipembeli , “saya terima (saya beli) dengan harga sekian”. Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka, dan juga sabda Rasulullah SAW, didibah ini.










“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka”. (H.R. Ibnu Hibban).


Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu tergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama. Tetapi Nawawi Mutawali, bagawi dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz.


Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat yaitu :
Keadaan ijab dan kabul berhubungan, artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafaz keduanya berlainan.
Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain seperti katanya, “kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.
Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.


Apabila rukun diatas syaratnya kurang, jual beli dianggap tidak sah. Dibawah ini akan diuraikan beberapa contoh jual beli yang tidak sah karena kurang rukun atau syaratnya :


1. Di Negeri kita orang telah biasa melkukan pekerjaan mencampurkan hewan betina dengan hewan jantan. Pencampuran hewan itu ditetapkan dengan harga yang tertentu untuk sekali campur. Jadi berarti menjual air mani jantan, ini tidak sah menurut cara jual beli karena tidak diketahui kadarnya juga tidak dapat diserahkan.


Akan tetepi dengan jalan dipersewakan dalam masa yang tertentu menurut mazhab Syafi’i dan Hambali tidak ada halangan. Adapun dengan jalan meminjam, maka para ulama bersepakat bahwa tidak ada halangan bahkan dianjurkan oleh syara’.


2. Menjual suatu barang yang baru dibelinya sebelum diterima, karena miliknya belum sempurna, tanda sesuatu yang belum dibeli dan belum diterimanya adalah, barang itu masih dalam tanggungan sipenjual, berarti kalau barang itu hilang, sipenjual harus menggantinya.


Sabda Rasulullah SAW :










“Janganlah engkau menjual sesuatu yang engkau beli sebelum engkau terima” (H.R. Ahmad dan Baihaqi).


3. Menjual buah-buahan sebelum nyata pantas dimakan (dipetik), karena buah-buahan yang masih kecil sering rusah atau busuk sebelum matang. Hal ini mungkin akan merugikan sipembeli, dan sipenjualpun mengambil harganya dengan tidak ada keuntungannya.










Dari Ibnu Umar. “ Nabi SAW telah melarang menjual buah-buahan sebelum buahnya tampak masak (pantas diambil)” (sepakat ahli hadis)


2.4. Beberapa jual beli yang sah


Mengenai jual beli yang tidak diijinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebuah timbulnya larangan adalah :


a. Menyakiti si penjual, pembeli atau orang lain


b. Menyempitkan gerakan pasaran


c. Merusak ketentraman umum.


2.4.1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan ia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.


2.4.2. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.


Sabda rasulullah SAW :










Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW telah bersabda, ‘janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain” (sepakat ahli waris)


2.4.3. Mencegat orang-orang yang datang dari desa diluar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai kepasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar.


Sabda Rasulullah SAW :










Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW bersabda, ‘janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan kepasar dijalan sebelum mereka sampai kepasar.” (sepakat ahli ulama)


Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai dipasar.


2.4.4. Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum.


Sabda Rasulullah SAW :










“Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah)” (H.R.muslim)


2.4.5. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.


2.4.6. Jual beli yang disetai tipuan. Berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang ataupun ukuran dan timbangannya.


2.5. Khiyar


Khiyar artinya “boleh milih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak dapat dijual beli)’. Diadakan khiyar oleh syara’agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalah dikemudaian hari lantaran merasa tertipu.


Khiyar ada 3 (tiga) macam yaitu :


2.5.1. Khiyar Majelis


Artinya : sipembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada ditempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.










“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad’ H.R. Bukhari dan Muslim)


2.5.2. Khiyar Syarat


Artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang seperti kata sipenjual, “saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari”.


Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima ditempat jual beli seperti barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam terhitung dari waktu akad.


Sabda Rasulullah SAW :










“engkau boleh khiyar pada segala pada barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam” (H. R. Baihaqi dan Ibnu Majah)


2.5.3. Khiyar albi (cacat)


Artinya sipembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi sipembeli tidak tahu, atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya


2.6. Pengertian Hutang Pitang


Utang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian ia akan membayar yang sama dengan yang dipinjamnya, misalnya mengutang uang Rp. 2.000.00,- akan dibayar Rp. 2.000.00,- pula


Firman Allah AWT :










Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.


Mmempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti telah menolognya.


Sabda rasulullah SAW :














“Dari ibnu mas’ud “sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda, seorang muslim yang mempiutangkan seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersekah kepadanya satu kali”. (H.R. Ibnu Majjah)










“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya” (H.R. Muslim)






2.7. Hukum memberi hutang


Memberi hutang hukumnya sunat, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkannya. Memeng tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang yang dalam masyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang lain.


2.8. Rukun Piutang


1. Lafaz (kalimat mengutangi) seperti: “saya utangkan ini kepada engkau” jawab yang berutang “saya mengaku berutang kepada engkau”


2. Yang berpiutang dan dan berutang.


3. Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang dihitung, boleh diutangkan. Begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.


2.9. Menambah bayaran


Melebihkan bayaran dari sebanyak utang, kalau kelebihannya itu memang kemauan yang berutangdan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal) bagi yang mengutangkannya, dan menjadi kebaikan untuk orang yang membayar hutang.


Sabda Rasulullah SAW :









“Maka sesungguhnya sebaik-baik kamu ialah yang sebaik-baiknya pada waktu membayar utang” (sepakat ahli hadis)


















“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah mengutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah SAW bersabda, “orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik. (H.R. Ahmad dan Tirmizi, lalu disahihkannya)


Adapun tambahan yang dikehendaki oleh yang berpiutang atau telah menjadi perjanjian sewaktu akad, hal itu tidak boleh. Tambahan itu tidak halal atas orang yang berpitang mengambilnya. Umpamanya yang berpiutang berkata kepada yang berutang, “saya utangi engkau dengan syarat sewaktu membayar engkau tambah sekian”


Rasulullah SAW bersabda










Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba.” H.R. Baihaqi)






2.10. Riba


Ditinjau dari segi pengertian bahasa, riba berarti lebih (tambahan), sedangkan menurut pengertian syara’, riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan pinjam meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi, sedangkan pihak lainnya menarik keuntungan tanpa menanggung resiko. Para ulama sepakat riba itu ada empat macam yaitu :


a. Riba Fadli yaitu riba dengan sebab tukar menukar barang sejenis dengan jumlah yang berbeda seperti menjual emas dengan emas, gandum dengan gandum, beras dengan beras yang kualitasnya sama, tetapi kuantitasnya berbeda.


b. Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berutang disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Misalnya jual beli kredit dengan cara menetapkan adanya dua macam harga bila dibeli dengan cara kontan.


c. Riba Qardi yaitu pinjam meminjam atau berhutang piutang dengan menarik keuntungan dari orang yang meminjam atau yang berhutang seperti meminjam uang dengan dikenakan bunga yang tinggi.


Sabda Rasulullah SAW :










“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba” (H.R. Baihaqi)


d. Riba Yad yaitu bila salah satu dari penjual atau pembeli dalam jual beli telah meninggalkan majelis akad sebelum saling menyerahterimakan barang.


2.11. Hukum Riba


Para ulama sepakat hukum riba adalah haram. Dasar hukumnya adalah sebagai berikut :


a. Firman Allah :





Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli (Q.S.Al Baqarah:275)


b. Saksi riba meliputi semua pihak yang terlibat, sabda Rasulullah SAW :














Artinya : Dari Jabir, katanya Rasulullah telah melaknat orang yang makan dengan barang riba dan yang mewakilinya penulisannya dan dua orang saksinya dan sabda beliau “mereka semua adalah sama” (H.R. Muslim)


c. Larangan menggunakan hasil (sisa) riba. Firman Allah SWT :





Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.










d. Larangan Allah memekan riba. Firman Allah SWT :





Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.


e. Sangsi bagi pemakan riba. Firman Allah SWT :


š


Artinga : Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.


2.12. Hukum diharamkan riba


Beberapa hikmah yang amat besar dengan diharamkannya riba antara lain karena :


a. Riba menghilangkan faedah berhutang piutang yang menjadi tulang punggung gotong royong atas kebajikan dan taqwa.


b. Riba menimbulkan dan menanamkan jiwa permusuhan antar beberapa individu manusia.


c. Riba melenyapkan manfaat dan kepentingan yang wajib disampaikan kepada orang yang sangat membutuhkan dan menderita.


d. Riba menimbulkan mental orang yang suka hidup mewah dan boros serta ingin memperoleh hasil besar tanpa bekerja keras diatas kesusahan orang lain.


e. Riba merupakan jalan atau cara untuk menjajah orang karena yang meminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya.










BAB III


PENUTUP






3.1. Kesimpulan


Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertenu (akad)


A. Rukun jual beli


1. Penjual dan Pembeli


a. Berakal dan baligh


b. Dengan kehendak sendiri


c. Tidak mubazir


2. Uang dan benda yang dibeli


a. Suci


b. Ada manfaatnya


c. Barang itu dapat diserahkan


d. Barang yang dijual milik sendiri


e. Barang yang dijual diketahui oleh si penjual dan si pembeli


3. Lafaz ijab kabul


Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama jumlahnya dengan sesuatu yang dipinjamnya.


B. Rukun-rukun piutang


1. Lafaz ijab dan kabul


2. Yang berpiutang dan yang berhutang


3. Barang yang diutangkan


Riba berarti lebih (tambahan), sedangkan menurut pengertian syara’, riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan pinjam meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi, sedangkan pihak lainnya menarik keuntungan tanpa menanggung resiko.


Macam-macam Riba :


1. Riba Fadli


2. Riba Nasi’ah


3. Riba Qardi


4. Riba Yat


3.2. Saran


Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan bagi mahasiswa dalam menggali ilmu tentang muamalat, dan sekaligus memberikan koreksi yang positif jika masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini.









DAFTAR PUSTAKA














- Rasjid, Sulaiman, Fiqh islam, bandung, Sinar baru Algensindo, 1994


- Al Faraby, Fiqih, Jakarta, CV Arifandani, 2006


- Rifa’i, Muhammad, Ilmu Fiqih Islam, Semarang, CV Toha Putra, 1978





- Khalmi, Menggali Hukum Islam, Semarang Pustaka, Insan Madani, 2006

JUAL BELI, HUTANG PITANG DAN RIBA

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Allah SWT telah menjadikan manusia untuk saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing. Baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain sebagainya,  yang demikian itu disebut juga istilah muamalat
Akan tetapi, sifat tamak tetap ada pada diri manusia yaitu suka mementingkan diri sendiri. Maka dari itu, agar hak masing-masing jangan sampai tersia-sia dan menjaga kemaslahatan agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur.
Agama dalam hal ini memberi peraturan yang sebaik-baiknya dalam pembahasan  muamalat
Oleh sebab itu, dalam pembahasan makalah ini akan menjelaskan perihal muamalat tentang jual beli, hutang piutang dan juga riba.
  
1.2.Rumusan masalah
a.       Apa pengertian jual beli
b.      Apa yang dimaksud hutang piutang
c.       Apa pengertian riba



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).
¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#
Artinya :
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Ÿw(#þqè=à2ù's?Nä3s9ºuqøBr&Mà6oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/HwÎ)br&šcqä3s?¸ot»pgÏB`tã<Ú#ts?öNä3ZÏiB

Artinya :Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu
2.2.  Rukun Jual Beli
2.2.1. Penjual dan Pembeli
Syarat-syarat penjual dan pembeli adalah :
a.    Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya
b.    Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keterangannya yaitu ayat diatas (suka sama suka)
c.    Tidak mubazir(pemboros, sebab harta orang yang mubazir itu ditangan walinya
Firman Allah SWT :
Ÿwur(#qè?÷sè?uä!$ygxÿ¡9$#ãNä3s9ºuqøBr&ÓÉL©9$#Ÿ@yèy_ª!$#ö/ä3s9$VJ»uŠÏ%öNèdqè%ãö$#ur$pkŽÏù
Artnya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja.
d.      Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagai ulama, mereka diperbolehkan menjual beli barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-sekali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya 
2.2.2. Uang dan benda yang dibeli
Syarat-syarat uang dan benda yang dibeli antara lain :
a.       Suci, barang najis tidak sah tidak boleh dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b.      Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya, karena hal tersebut termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
Firman Allah SWT  (Q.S. Al –Isra’ : 27):
¨bÎ)tûïÍÉjt6ßJø9$#(#þqçR%x.tbºuq÷zÎ)ÈûüÏÜ»u¤±9$#(tb%x.urß`»sÜø¤±9$#¾ÏmÎn/tÏ9#Yqàÿx.  
Artinya : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
c.       Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual sesuatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan)

“Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa nabi SAW telah melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya” (H.R. Muslim)
d.      Barang tersebut merupakan kepunyaan sipenjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakannya.

Sabda Rasulullah SAW :


“Tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki” (H.R Abu Dawud dan Tirmizi)
e.       Barang tersebut diketahui oleh sipenjual dan si pembeli: zat, bentuk, kadar (ukuran), dan seifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh mengecoh.
2.3.  Lafaz ijab dan kabul
Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya, “saya jual barang ini sekian”
Kabul adalah ucapan sipembeli , “saya terima (saya beli) dengan harga sekian”. Keterangannya  yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka, dan juga sabda Rasulullah SAW, didibah ini.


“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka”. (H.R. Ibnu Hibban).
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu tergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama. Tetapi Nawawi Mutawali, bagawi dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz.
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat yaitu :
  1. Keadaan ijab dan kabul berhubungan, artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
  2. Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafaz keduanya berlainan.
  3. Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain seperti katanya, “kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.
  4. Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.
Apabila rukun diatas syaratnya kurang, jual beli dianggap tidak sah. Dibawah ini akan diuraikan beberapa contoh jual beli yang tidak sah karena kurang rukun atau syaratnya :
1.      Di Negeri kita orang telah biasa melkukan pekerjaan mencampurkan hewan betina dengan hewan jantan. Pencampuran hewan itu ditetapkan dengan harga yang tertentu untuk sekali campur. Jadi berarti menjual air mani jantan, ini tidak sah menurut cara jual beli karena tidak diketahui kadarnya juga tidak dapat diserahkan.
Akan tetepi dengan jalan dipersewakan dalam masa yang tertentu menurut mazhab Syafi’i dan Hambali tidak ada halangan. Adapun dengan jalan meminjam, maka para ulama bersepakat bahwa tidak ada halangan bahkan dianjurkan oleh syara’.  
2.      Menjual suatu barang yang baru dibelinya sebelum diterima, karena miliknya belum sempurna, tanda sesuatu yang belum dibeli dan belum diterimanya adalah, barang itu masih dalam tanggungan sipenjual, berarti kalau barang itu hilang, sipenjual harus menggantinya.
Sabda Rasulullah SAW :


“Janganlah engkau menjual sesuatu yang engkau beli sebelum engkau terima” (H.R. Ahmad dan Baihaqi).
3.      Menjual buah-buahan sebelum nyata pantas dimakan (dipetik), karena buah-buahan yang masih kecil sering rusah atau busuk sebelum matang. Hal ini mungkin akan merugikan sipembeli, dan sipenjualpun mengambil harganya dengan tidak ada keuntungannya.


Dari Ibnu Umar. “ Nabi SAW telah melarang menjual buah-buahan sebelum buahnya tampak masak (pantas diambil)” (sepakat ahli hadis)
2.4.  Beberapa jual beli yang sah
Mengenai jual beli yang tidak diijinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebuah timbulnya larangan adalah :
a.       Menyakiti si penjual, pembeli atau orang lain
b.      Menyempitkan gerakan pasaran
c.       Merusak ketentraman umum.
2.4.1.      Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan ia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.
2.4.2.      Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
Sabda rasulullah SAW :


Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW telah bersabda, ‘janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain” (sepakat ahli waris)
2.4.3.      Mencegat orang-orang yang datang dari desa diluar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai kepasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar.
Sabda Rasulullah SAW :


Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW bersabda, ‘janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan kepasar dijalan sebelum mereka sampai kepasar.” (sepakat ahli ulama)
Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai dipasar.
2.4.4.      Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum.
Sabda Rasulullah SAW :


“Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah)” (H.R.muslim)
2.4.5.      Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
2.4.6.      Jual beli yang disetai tipuan. Berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang ataupun ukuran dan timbangannya.   
2.5.  Khiyar
Khiyar artinya “boleh milih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak dapat dijual beli)’. Diadakan khiyar oleh syara’agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalah dikemudaian hari lantaran merasa tertipu.
Khiyar ada 3 (tiga) macam yaitu :
2.5.1.      Khiyar Majelis
Artinya : sipembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi  selama keduanya masih tetap berada ditempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.


“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad’ H.R. Bukhari dan Muslim) 
2.5.2.      Khiyar Syarat
Artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang seperti kata sipenjual, “saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari”.
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima ditempat jual beli seperti barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam terhitung dari waktu akad.
Sabda Rasulullah SAW :


“engkau boleh khiyar pada segala pada barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam” (H. R. Baihaqi dan Ibnu Majah)
2.5.3.      Khiyar albi (cacat)
Artinya sipembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi sipembeli tidak tahu, atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya
2.6.  Pengertian Hutang Pitang
Utang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian ia akan membayar yang sama dengan yang dipinjamnya, misalnya mengutang uang Rp. 2.000.00,-  akan dibayar Rp. 2.000.00,-  pula
Firman Allah AWT :
(#qçRur$yès?urn?tãÎhŽÉ9ø9$#3uqø)­G9$#ur( Ÿwur(#qçRur$yès?n?tãÉOøOM}$#Èbºurôãèø9$#ur  

Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Mmempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti telah menolognya.
Sabda rasulullah SAW :



“Dari ibnu mas’ud “sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda, seorang muslim yang mempiutangkan seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersekah kepadanya satu kali”. (H.R. Ibnu Majjah)


“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya” (H.R. Muslim)

2.7.  Hukum memberi hutang
Memberi hutang hukumnya sunat, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkannya. Memeng tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang yang dalam masyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang lain.   
2.8.  Rukun Piutang
1.      Lafaz (kalimat mengutangi) seperti: “saya utangkan ini kepada engkau” jawab yang berutang “saya mengaku berutang kepada engkau”
2.      Yang berpiutang dan dan berutang.
3.      Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang dihitung, boleh diutangkan. Begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.
2.9.  Menambah bayaran
Melebihkan bayaran dari sebanyak utang, kalau kelebihannya itu memang kemauan yang berutangdan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal) bagi yang mengutangkannya, dan menjadi kebaikan untuk orang yang membayar hutang.
Sabda Rasulullah SAW :
 

“Maka sesungguhnya sebaik-baik kamu ialah yang sebaik-baiknya pada waktu membayar utang” (sepakat ahli hadis)




“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah mengutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah SAW bersabda, “orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik. (H.R. Ahmad dan Tirmizi, lalu disahihkannya)
Adapun tambahan yang dikehendaki oleh yang berpiutang atau telah menjadi perjanjian sewaktu akad, hal itu tidak boleh. Tambahan itu tidak halal atas orang yang berpitang mengambilnya. Umpamanya yang berpiutang berkata kepada yang berutang, “saya utangi engkau dengan syarat sewaktu membayar engkau tambah sekian”
Rasulullah SAW bersabda


Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba.” H.R. Baihaqi)

2.10.        Riba
Ditinjau dari segi pengertian bahasa, riba berarti lebih (tambahan), sedangkan menurut pengertian syara’, riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan pinjam meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi, sedangkan pihak lainnya menarik keuntungan tanpa menanggung resiko. Para ulama sepakat riba itu ada empat macam yaitu :
a.       Riba Fadli yaitu  riba dengan sebab tukar menukar barang sejenis dengan jumlah yang berbeda seperti menjual emas dengan emas, gandum dengan gandum, beras dengan beras yang kualitasnya sama, tetapi kuantitasnya berbeda.
b.      Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berutang disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Misalnya jual beli kredit dengan cara menetapkan adanya dua macam harga bila dibeli dengan cara kontan.
c.       Riba Qardi yaitu pinjam meminjam atau berhutang piutang dengan menarik keuntungan dari orang yang meminjam atau yang berhutang seperti meminjam uang dengan dikenakan bunga yang tinggi.
Sabda Rasulullah SAW :


“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba” (H.R. Baihaqi)
d.       Riba Yad yaitu bila salah satu dari penjual  atau pembeli dalam jual beli telah meninggalkan majelis akad sebelum saling menyerahterimakan barang.
2.11.        Hukum Riba
Para ulama sepakat hukum riba adalah haram. Dasar hukumnya adalah sebagai berikut :
a.       Firman Allah :
¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#ÇËÐÎÈ  
Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli (Q.S.Al Baqarah:275)
b.      Saksi riba meliputi semua pihak yang terlibat, sabda Rasulullah SAW :



Artinya : Dari Jabir, katanya Rasulullah telah melaknat orang yang makan dengan barang riba dan yang mewakilinya penulisannya dan dua orang saksinya dan sabda beliau “mereka semua adalah sama” (H.R. Muslim)
c.       Larangan menggunakan hasil (sisa) riba. Firman Allah SWT :
$ygƒr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qà)®?$#©!$#(#râsŒur$tBuÅ+t/z`ÏB(##qt/Ìh9$#bÎ)OçFZä.tûüÏZÏB÷sB  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.


d.      Larangan Allah memekan riba. Firman Allah SWT :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$#(#qãYtB#uäŸw (#qè=à2ù's?(##qt/Ìh9$#$Zÿ»yèôÊr&Zpxÿy軟ÒB( (#qà)¨?$#ur©!$#öNä3ª=yès9tbqßsÎ=øÿè?
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
e.       Sangsi bagi pemakan riba. Firman Allah SWT :
šúïÏ%©!$#tbqè=à2ù'tƒ(#4qt/Ìh9$#Ÿw tbqãBqà)tƒžwÎ)$yJx.ãPqà)tƒÏ%©!$#çmäܬ6ytFtƒß`»sÜø¤±9$#z`ÏBÄb§yJø9$#4 y7Ï9ºsŒöNßg¯Rr'Î/(#þqä9$s%$yJ¯RÎ)ßìøt7ø9$#ã@÷WÏB(#4qt/Ìh9$#
Artinga : Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
2.12.        Hukum diharamkan riba
Beberapa hikmah yang amat besar dengan diharamkannya riba antara lain karena :
a.         Riba menghilangkan faedah berhutang piutang yang menjadi tulang punggung gotong royong atas kebajikan dan taqwa.
b.         Riba menimbulkan dan menanamkan jiwa permusuhan antar beberapa individu manusia.
c.         Riba melenyapkan manfaat dan kepentingan yang wajib disampaikan kepada orang yang sangat membutuhkan dan menderita.
d.        Riba menimbulkan mental orang yang suka hidup mewah dan boros serta ingin memperoleh hasil besar tanpa bekerja keras diatas kesusahan orang lain.
e.         Riba merupakan jalan atau cara untuk menjajah orang karena yang meminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya.


BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertenu (akad)
A.       Rukun jual beli
1.      Penjual dan Pembeli
a.         Berakal dan baligh
b.        Dengan kehendak sendiri
c.         Tidak mubazir
2.      Uang dan benda yang dibeli
a.    Suci
b.    Ada manfaatnya
c.    Barang itu dapat diserahkan
d.   Barang yang dijual milik sendiri
e.    Barang yang dijual diketahui oleh si penjual dan si pembeli
3.      Lafaz ijab kabul
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama jumlahnya dengan sesuatu yang dipinjamnya.
B.     Rukun-rukun piutang
1.      Lafaz ijab dan kabul
2.      Yang berpiutang dan yang berhutang
3.      Barang yang diutangkan
Riba berarti lebih (tambahan), sedangkan menurut pengertian syara’, riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan pinjam meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi, sedangkan pihak lainnya menarik keuntungan tanpa menanggung resiko.
Macam-macam Riba :
1.      Riba Fadli
2.      Riba Nasi’ah
3.      Riba Qardi
4.      Riba Yat
3.2.  Saran
Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan bagi mahasiswa dalam menggali ilmu tentang muamalat, dan sekaligus memberikan koreksi yang positif  jika masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA



-          Rasjid, Sulaiman, Fiqh islam, bandung, Sinar baru Algensindo, 1994
-          Al Faraby, Fiqih, Jakarta, CV Arifandani, 2006
-          Rifa’i, Muhammad, Ilmu Fiqih Islam, Semarang, CV Toha Putra, 1978

-          Khalmi, Menggali Hukum Islam, Semarang Pustaka, Insan Madani, 2006